“MEMAYU HAYUNING SARIRA
MEMAYU HAYUNING BANGSA
MEMAYU HAYUNING BAWANA”
Apapun yang dilakukan seseorang hendaknya bermanfaat untuk diri sendiri, bermanfaat untuk bangsa dan negara, bermanfaat untuk dunia pada umumnya (KI HAJAR DEWANTARA)
Pendidikan merupakan simbol kemajuan sebuah negara, ia adalah salah satu sarana atau alat untuk mengasah ilmu, mental, moral dan pengetahuan. Bukti-bukti sejarah dan peradaban yang menunjukkan begitu pentingnya pendidikan seperti, zaman salafushsalih, peradaban mesir, revolusi industri. Pendidikan sangat erat kaitannya dengan ilmu pengetahuan, dapat diibaratkan ilmu buah dari pendidikan itu sendiri. Seperti dalam sabda Rasul “Menuntut ilmu wajib atas setiap muslim (Ibnu Majah: 224). Ilmu sendiri bukan mustahil didapat tanpa melalui pendidikan, namun melalui pendidikan merupakan sebuah jalan menjadikan manusia menjadi arif dan bermartabat.
Sebetulnya apa tujuan pendidikan itu sendiri?
Dalam perkembangannya pendidikan memiliki tujuan yang berbeda beda dari setiap negara disesuaikan dengan tuntutan zaman. Adapun tujuan pendidikan di Indonesia sesuai UU Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional, mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tujuan tersebut juga menonjolkan mengenai pendidikan karakter yang menjadi dasar yang perlu dimiliki individu.
Pendidikan karakter yang dicanangkan pemerintah belum secara masif dalam penerapannya. Menurut saya selain sistem pendidikan dan juga faktor-faktor dari eksternal. Praktisnya negara kita mengalami krisis berkepanjangan mengenai moral, padahal pemerintah telah berupaya agar pendidikan ini memiliki output yang diharapkan. Dilansir dari republika online bahwa bocoran soal USBN dilakukan oleh oknum bimbel seharga 10 juta rupiah. Sudah bersekolah bertahun-tahun tapi bibit curang selalu mennyelimuti UN ini. Integritas masih menjadi PR bersama, belum lagi menanggulangi masalah kenakalan remaja.
Kabar gembiranya negara kita memiliki potensi SDM, LIPI memberikan data bahwa penduduk negara kita 70% adalah usia produktif yang berarti usia dalam angakatan kerja. Sehingga dengan adanya tenaga kerja produktif ini, harapannya dapat meningkatkan produktivitas di semua sektor karena kaitannya dengan persaingan pasar bebas (Masyarakat Ekonomi Asean) yang telah dimulai. Seperti negara tetangga misalnya China, Singapura, Australia. Negara-negara ini mempersiapkan tenaga kerjanya melalui pendidikan. Saya ambil contoh misalnya Singapura, disana model pendidikannya adalah terapan. Pendidikan terapan ini hanya menggunakan 30% ilmu dasar dan 70% praktik (Prof Rhenald Kasali). Konkretnya adalah misal dalam pendidikan kita mengenal ilmu akuntansi, apakah hanya sekadar angka saja yang dipelajari bagaimana menggunakan saldo dan debitnya. Ternyata tidak, mereka praktik langsung bagaimana ilmu ini dapat diterapkan di Industri. Selain akuntansi, jurusan pemasaran juga selalu menjadi favorit di negara manapun, tapi penerapannya di negara lain mereka langsung melakukan perdagangan, tidak sekolah dalam kelas. Bagaimana dengan negara kita? Untuk dapat fokus pada bidang tertentu harus menempuh bangku kuliah, atau setidaknya SMK / sederajat, sekolah saja kira-kira butuh 15 tahun untuk sekolah. Tentunya kita sangat kaya akan ilmu jika sekolah selama itu. Informasi dari Prof Rhenald Kasali bahwa orang-orang Indonesia tidak kalah cerdas dalam bidang akademik dengan negara Amerika, namun sekali lagi mindset di negara kita tertanam bahwa ilmu dasar alias nilai lebih penting dibandingkan dengan apasaja. Padahal negara-negara maju mempersiapkan semua sektor dimulai dari pendidikan yang dijalankan dinegara tersebut. Pada jenjang Sarjana semua temuan penelitian hanya sebatas tumpukan buku (hasil penelitian) tanpa diwujudkan untuk kebermanfaatan bersama. Saya tidak menyalahkan bahwa ilmu dasar tidak penting, sama sekali tidak. Semuanya betul-betul penting. Saya ambil contohnya begini, pedagang cabe misalnya hanya butuh ilmu matematika tentang hitung, kali, bagi, kurang. Apa dia memikirkan tentang ilmu matematika integral, matriks, phytagoras. Jadi menurut saya, kurang efektif ilmu yang kebermanfaatannya saja tidak tau pada saat itu, mungkin berguna di masa depan. Maka dari itu, banyak orang yang lebih terpuaskan mendapatkan ilmu di luar negeri karena mereka betul-betul tau apa yang dihasilkan dan untuk apa.
Ada satu kisah yang cukup miris, seorang putera bangsa telah menciptakan plastik dari bahan organik, yang artinya plastik tersebut dapat diurai hanya 1 minggu. Hebat bukan??? Masalah plastik yang selama ini jadi beban lingkungan dan terurai memerlukan waktu puluhan tahun, ternyata ada orang Indonesia yang menemukan plastik berbahan dasar pati singkong. Sehingga dapat menjadi solusi untuk lingkungan. Namun sangat disayangkan ketika dia meminta support kepada pemerintah untuk diajak kerja sama. Jawabannya hanyalah apresiasi yang luar biasa untuk karyanya. Pastilah kita yang mendengar sangat kecewa, bagaimana mungkin??meskipun ada kendala tapi saya menilai memang negara tidak serius untuk mengatasi permasalahan. Karya anak bangsa bahkan tidak pernah diproduksi secara kolektif untuk memperbaiki lingkungan, dan masih banyak lagi cerita-cerita bagaimana karya mereka hanya sebuah apresiasi namun belum jadi inovasi secara massal.
Belum lagi pendidikan yang belum merata, kita dapat bayangkan anak-anak pedalaman yang sekolah dengan mengarungi sungai panjang, jalan terjal, bahkan berhadapan dengan binatang. Bahkan yang lebih menyedihkan mereka yang tidak tersentuh dengan pendidikan, yang mereka lakukan adalah begaimana cara bertahan hidup. Memang sulit untuk menangani pendidikan yang belum merata karena akses yang sulit, secara negara kita berbentuk kepulauan. Dalam hal ini adalah minimnya fasilitas pendidikan yang sulit dijangkau karena faktor geografis. Padahal sebetulnya mereka berhak mendapatkan perlakuan yang sama seperti pulau berkembang lainnya. Begitulah potret pendidikan yang seharusnya kita rayakan pada hari ini.
Pada akhirnya kita disibukkan dengan krisis pendidikan karakter, menurut saya dari berbagai faktor. Beberapa faktor ini cukup berperan penting, yaitu keluarga. Keluarga seringkali dituding menjadi penyebab anak berperilaku yang baik, kurang baik atau bahkan berperilaku yang tidak beradab. Kemudian faktor teman sebaya yang tidak jauh dengan faktor lingkungan itu sendiri. Seorang anak usia dini yang meniru temannya berperilaku agresif, padahal terkadang tidak tau kenapa berperilaku demikian. Begitulah dampak langsung teman sebaya memberikan contoh yang mudah untuk diikuti anak lain. Kemudian media lah yang sekarang jadi trend dan saya menilai ini menjadi salah satu penyebab pendidikan karakter itu belum masif dilakukan. Sebab, akses yang cepat, jangkauan luas dan berkembang secara bebas entah itu positif dan negatif.
Memberikan peluang sebebas-bebasnya kepada khalayak untuk mengakses, menyebar, dan mengepost.
Meskipun dengan segala keterbatasan, karya-karya anak bangsa yang telah go Internasional membuktikan bahwa negara kita mampu bersaing dan melakukan inovasi yang dapat berguna untuk sesamanya. Mungkin nanti akan datang suatu masa dimana anak-anak sekolah dengan penuh semangat dan antusias untuk menciptakan karya, kemudian kemudahan fasilitas dan jangkauan untuk semua lapisan. Selain itu juga pendidikan yang murah tidak untuk dikomersilkan. Program beasiswa dari DIKTI juga sangat membantu mereka yang kurang mampu, sehingga pendidikan ini dapat memberikan peluang kepada siapa saja.
Tulisan bukan celaan, namun meskipun tulisan ini belum dapat membangun setidaknya kita sadar dan menjadi pelaku yang dapat melakukan perbaikan.
Bangkit!!!!!!!!!!
Selamat Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2017
-Handri-