Sup untuk Oma (Habit 3-Put First, Think First)

Oleh Budianto Sutrisno (Juara Harapan 3- Lomba Menulis Cerpen Women & Family Fair 2016)

            Kristo, 6 tahun, adalah putra kesayangan keluarga Pak Kristanto dan Bu Santi yang tinggal di sebuah kota kabupaten di Jawa Tengah. Sungguh mereka merupakan contoh keluarga yang berbahagia. Betapa tidak! Pak Kristanto memiliki karier yang sedang moncer sebagai seorang manajer penjualan di sebuah perusahaan terkenal. Pintar bergaul, memiliki kemampuan berbahasa Inggris yang cas-cis-cus. Kalau berbicara, tak ada bedanya dengan orang Inggris asli. Maklum, Pak Kristanto adalah jebolan Cambridge University yang termasyhur di seluruh jagat.

            Bu Santi, lulusan S-1 di bidang biologi dari sebuah universitas di Indonesia. Perempuan ini membaktikan diri sepenuhnya sebagi ibu rumah tangga yang baik. Orangnya ramah, lembut budi bahasanya, terampil mendidik anak, dan sangat pandai memasak. Seluruh keluarga dan teman dekatnya sering dimanjakan oleh hobi memasaknya. Berkat hobi memasaknya ini, ia sangat disayangi oleh ibu mertuanya, Bu Triasih yang sering dipanggil dengan sebutan Oma Tri.

            Sementara itu, Kristo merupakan seorang pelajar yang mencetak prestasi tertinggi di kelasnya. Bukan hanya itu! Anak pintar ini sangat patuh kepada orang tua dan gurunya. Tidak ada perintah atau nasihat yang tak dipatuhinya. Hal-hal yang tidak diketahuinya, selalu ditanyakan kepada orang tua dan gurunya; dan Kristo selalu mendapatkan jawaban terbaik.

            Nama-nama tetumbuhan dan binatang dalam bahasa Latin, sudah dikenal oleh Kristo, karena anak ini rajin bertanya kepada mamanya. Ia lancar menyebutkan oryza untuk padi, maizium untuk jagung, patata untuk kentang, canis untuk anjing, feles untuk kucing, aves untuk burung, dan masih banyak lagi. Sedangkan untuk istilah-istilah bahasa Inggris, Kristo banyak bertanya kepada papanya, sehingga anak ini sudah mengerti ungkapan seperti take it for granted, be my guest, in a nutshell, profit margin, dan lain sebagainya. Kemampuan seperti ini boleh dibilang luar biasa untuk bocah berumur 6 tahun yang tinggal di kota kabupaten. Kristo sungguh-sungguh menerapkan secara nyata nasihat yang sering dipaparkan oleh mamanya, yakni ”Malu bertanya, sesat di jalan.”

            Ketika ditanya teman-temannya tentang pelajaran yang belum jelas bagi mereka, Kristo tak pelit memberikan jawaban. Dia menjadi anak yang disenangi, baik di sekolah maupun di rumahnya sendiri.

            Lebih dari itu, sejak kedua orang tua Kristo tekun mempelajari isi buku The Seven Habits of Highly Effective People karangan Stephen R. Covey, Kristo semakin mengerti makna disiplin dan tanggung jawab.

            Setiap pagi, Kristo sudah dibiasakan bangun pukul 05.00. Dia harus membereskan tempat tidur sendiri serta mematikan lampu-lampu di beranda depan ketika hari mulai terang. Membuka pintu dan jendela  sudah menjadi kebiasaan rutinnya.

            Tampaknya, keluarga Pak Kristanto telah berhasil membentuk sinergi kompetensi yang baik dalam keluarganya, sehingga mampu menghasilkan kualitas unggul dalam karier maupun pendidikan bagi putra mereka. Kata orang pintar, telah terjadi perubahan paradigma dalam keluarga Pak Kristanto. Tentu saja, perubahan yang bersifat positif.

            Di suatu hari libur, Kristo melihat mamanya sudah menyiapkan bahan-bahan masakan sejak pukul 6.00 pagi. Ada kentang, wortel, daging ayam, bawang merah, bawang putih, bawang bombai, daun bawang, jahe, seledri, berbagai bumbu dapur, dan lain sebagainya.

            ”Tumben mama sepagi ini sudah siap memasak. Masak apa, Ma?” ujar Kristo.

            ”Coba tebak, mama mau masak apa? Kristo ’kan anak pintar!”

            ”Dilihat dari bahan-bahan dan bumbunya, mama pasti mau masak sup ayam jahe kesukaan Kristo. Ya kan, Ma?” wajah Kristo tampak semringah.

            ”Tepat sekali. Anak mama memang pintar!”

            ”Dan penurut, Ma!” sergah Kristo dengan senyum melebar, ”tapi sepertinya porsinya lebih banyak daripada biasanya. Kita kan cuma bertiga, Ma? Bukankah mama telah mengajarkan agar kita tidak boros, berbelanja dan menggunakan segala sesuatu sesuai dengan kebutuhan?”

            ”Benar, Kris. Kita memang tidak boleh berlebihan. Kali ini, mama akan memasak dalam porsi yang lebih banyak daripada biasanya, karena sebagian akan mama berikan ke Oma Tri tercinta. Oma Tri sedang kurang sehat, perlu makan sup ayam jahe hangat dan segar, agar kesehatannya cepat pulih kembali.”

            ”Oh, begitu. Jadi, kita tidak boros, ya! Biar nanti Kristo yang kirimkan ke oma, ya Ma! Dekat ini, ’kan oma tinggal di seberang rumah kita,” seru Kristo bersemangat, ”pokoknya, kalau untuk Oma Tri, first things first, ya, Ma,” ujar si bocah sambil mengutip istilah yang terdapat dalam buku karya Stephen R. Covey. Mengutamakan hal yang utama memang sudah dipraktikkan seluruh keluarga Pak Kristanto, termasuk oleh Kristo.

            Bu Santi membalas komentar Kristo dengan sebuah senyuman. Hatinya berkata, ”Tak percuma aku menanamkan kebiasaan baik sejak usia dini; anakku semata wayang sudah mempraktikkan Seven Habits.”

            Singkat cerita, sup sudah selesai dimasak. Aroma sedapnya sungguh menggugah selera. Pak Kristanto sudah siap di meja makan sambil memegang surat kabar.

            Bu Santi tampak menempatkan sup di mangkuk besar untuk dihidangkan di atas meja, dan sebagian lagi ditempatkan di panci rantang untuk dikirimkan ke ibu mertuanya.

            ”Kristo, kamu hantarkan sup hangat ini ke rumah oma secepatnya. Oma suka sekali makan sup hangat.”

            ”Baik, Ma!” Kristo menjawab dengan nada gembira.

            ”Ingat baik-baik pesan mama. Hati-hati, tunggu kendaraan lewat dulu, baru menyeberang!”

            ”Beres, Ma! Kristo mengerti maksud mama, kok!” ujar si bocah sambil mengambil panci rantang dengan senyum simpul, ”Kristo akan patuhi seluruh pesan mama.”

***

            Setengah jam berlalu, tetapi Kristo juga belum balik. Mungkin dia masih asyik ngobrol dengan oma tercintanya, pikir Bu Santi.

            Satu jam… dua jam berlalu… tetapi Kristo belum juga menampakkan batang hidungnya. Bu Santi mulai cemas.

            Akhirnya, tiga jam kemudian, Bu Santi dengan hati kebat-kebit melihat anak kesayangannya berjalan gontai dengan wajah setengah mewek, masuk ke rumah.

            ”Ada apa, Kris?” tanya Bu Santi heran. Sementara pak Kristanto menatap tajam wajah putra kesayangannya.

            ”Anu…, Ma…” jawab Kristo tergagap.

            ”Anu apa?” sergah sang papa, ”bukankah mama sudah minta kamu untuk hantarkan sup hangat ke rumah oma? Kenapa kau sekarang masih membawa sup yang sudah dingin itu? Ada apa?”

            ”Tenang, Kris! Ceritakan yang telah terjadi,” sang mama mencoba menghibur dengan nada lembut. ”Bukankah kau anak yang sangat patuh pada mama dan papa? Apakah kau lupa pesan mama sebelum berangkat tadi pagi?”

            ”Kris…, Kristo tidak lupa pesan mama. Dari rumah sampai tepi jalan, Kristo terus berkemak-kemik mengulang pesan mama supaya tak lupa: ’Hati-hati, tunggu kendaraan lewat dulu, baru menyeberang!’”

            ”Benar. Lalu mengapa sup itu belum juga kau antarkan ke tempat oma?” sang mama bertambah heran.

            ”Soal… soalnya… Kristo sudah tunggu lama, tapi tak ada kendaraan yang lewat. Kristo juga sudah coba bertanya kepada tukang roti sebelah dan pemilik warung beras agar Kristo tak tersesat, seperti nasihat yang berulang kali mama sampaikan, ’Malu bertanya, sesat di jalan.’”

            Bu Santi mengernyitkan dahinya, ”Lalu?”

            ”Lalu mereka mengatakan bahwa sudah berjam-jam tak ada kendaraan yang lewat. Tampaknya sepanjang hari akan sepi. Jadi, Kristo belum bisa menyeberang jalan untuk mengirimkan sup hangat kepada oma, karena belum ada satu kendaraan pun yang lewat. Maafkan Kristo, Ma, Pa. Kristo hanya ingin mematuhi pesan dan nasihat mama,” suara Kristo agak sesenggukan,

            ”Ya ampuun…, anakku Kristo!” seru Bu Santi kaget sambil mengusap-usap bahu putra semata wayangnya, ”ya… sudahlah, bersihkan mukamu dulu, Kristo.

            Kristo menunduk lesu dan mengayunkan langkahnya menuju ke kamar mandi.

            Pak Kristanto hanya bisa mengelus dada dan menggelengkan kepalanya. Dalam hatinya seperti ada suara mengatakan, ”Patuh terkadang bisa bikin sasaran meleset jauh;  mau bertanya, tak selalu menjamin orang tak sesat di jalan.”

            ”Ma, rupanya anak kita ini perlu keluar dari zona nyaman agar dapat mengetahui lebih banyak tantangan dan kesulitan hidup.,” Pak Kristanto memalingkan wajahnya ke arah Bu Santi.

            ”Benar, Pa, anak kita masih terlalu naïf untuk dapat memahami nasihat atau masukan, sehingga dia cenderung memikirkan segala sesuatu secara harfiah. Pengalaman sup ayam jahe yang dingin ini akan memberikan hikmah tersendiri baginya, juga bagi kita berdua dalam menanamkan prinsip Seven Habits.”

            ”Dia masih terlalu muda untuk dapat memahami substansi kehidupan. Akan tetapi papa optimistis dia bakal menjadi generasi penerus bangsa yang berkualitas tinggi.”

            ”Siapa dulu dong, mamanya?” suara Bu Santi penuh canda.

            ”Siapa dulu dong, papanya?” balas sang suami dengan senyum simpul.

***

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *