Sejatinya kita kenal Kartini pada sosok pahlawan perempuan. Pertama karena tanggal lahirnya diabadikan sebagai hari nasional, kedua kita memiliki lagu nasional yang tersohor, yaitu lagu “Ibu Kita Kartini”. Namun demikian, tidak banyak yang menelusuri sosok Kartini dan kiprahnya sehingga dinobatkan sebagai pahlawan nasional. Menurut ahli sejarah, Prof. Harsja W. Bachtiar, pada masanya, Kartini tidak dikenal oleh orang-orang Indonesia di luar lingkungannya. Kartini lebih dikenal di kalangan bangsawan Jepara dan koleganya yang berbangsaan Belanda. Dalam komunitas itulah Kartini mengungkapkan gejolak pikirnya tentang banyak hal, seperti penjajahan, kemiskinan, persamaan, keadilan, perempuan bahkan tentang agamanya sendiri, yaitu Islam.
Indonesia menerima Kartini dalam frame pemerintah Belanda. Belanda mengapresiasi apa yang dilakukan Kartini dan mengumpulkan surat-surat Kartini dalam bentuk buku “Door Duisternis tot Lich” (Habis Gelap Terbitlah Terang).
Sebenarnya pada era kehidupan Kartini bahkan abad-abad sebelumnya, Indonesia telah memiliki para pejuang perempuan yang kiprahnya luar biasa, bahkan beberapa terlibat langsung dalam pertempuran melawan penjajah. Cut Nyak Dien, Cut Mutiah, Ratu Kalinyamat, Dewi Sartika dan beberapa di era setelahnya seperti HR Rasuna Said, Rahma Elyunusiah, dan lain-lain. Perempuan-perempuan ini berjuang pula dalam bidang pendidikan dan politik.
Terlepas dari kontroversi mengapa Kartini yang menjadi pahlawan, apa yang telah dilakukan Kartini adalah sesuatu yang dapat dimaknai dan memberikan inspirasi pada kehidupan kita, terutama kaum perempuan, antara lain :
- Bersikap kritis
Surat-surat Kartini adalah bukti otentik kekritisan Kartini dan ruang pikirnya yang selalu berkembang.
Salah satu contohnya adalah kegelisahannya pada strata sosial dan ekonomi yang tidak adil karena penjajahan.
“Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa dibalik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut sebagai peradaban?” (Surat Kartini kepada Nyonya Abendanon, 27 Oktober 1902).
Kartini banyak menggugat ketimpangan sosial ekonomi yang terjadi pada masanya. Bagaimana pemerintah Belanda mengklasifikasi masyarakat menjadi 3 strata sosial (orang Belanda/Eropa, orang asing Asia/Arab dan pribumi) telah melukai hatinya. Oleh sebab itu surat-surat Kartini banyak mempertanyakan tentang kesenjangan ini. Bahkan Kartini juga menyesalkan bagaimana perlakuan pemerintah Hindia Belanda yang tidak adil terhadap nasib pribumi termasuk dalam pendidikan.
- Memiliki semangat belajar
Jika membaca surat-surat Kartini, kita akan melihat bahwa wacana pemikiran Kartini terus diasah untuk mendapatkan wawasan yang dalam tentang apa yang menjadi keprihatinannya.
Dalam kegalauannya tentang agamanya, Kartini pernah mempertanyakan tentang pelaksanaan agamanya yang menggunakan bahasa Arab, bahasa yang tidak dipahaminya. Tetapi beberapa tahun kemudian Kartini belajar tentang Islam pada Kyai Sholeh Darat. Bahkan Kyai Sholeh Darat kemudian menerjemahkan Alqur’an ke dalam bahasa Jawa untuk menjawab kegelisahan Kartini tersebut.
- Perhatian pada dunia pendidikan
Karena pemerintah Hindia Belanda membuat pribumi menjadi warga kelas ketiga, Kartini melihat di sekelilingnya banyak anak-anak yang tidak menikmati pendidikan formal. Hal tersebut menumbuhkan keinginan Kartini untuk menjadi guru dan melanjutkan pendidikannya di bidang tersebut (walau tidak terlaksana). Kartini bercita-cita mendirikan sekolah, walaupun sekolah tersebut baru bisa terwujud setelah beliau wafat (Kartini wafat di usia 25 tahun, 3 hari setelah melahirkan putranya).
- Mewariskan nilai melalui dunia literasi
Kartini terkenal justru setelah bukunya diterbitkan (6 tahun setelah beliau wafat) dan kemudian diresmikan sebagai pahlawan nasional oleh Presiden Sukarno pada tahun 1964. Dunia literasi membuat warisan yang berharga tentang sejarah dan nilai-nilai yang dibawanya. Warisan merupakan jejak peninggalan pemimpin kepada masyarakatnya. Kartini meninggalkan warisan yang memberikan masyarakat pengetahuan tentang kegelisahan dan keprihatinan seorang perempuan muda terhadap situasi penjajahan di negerinya.
Maka,bagi kita yang hidup di generasi milenial ini, Hari Kartini menjadi sebuah momen tentang pewarisan generasi. Nilai-nilai apa yang ingin kita warisan pada generasi berikut? Pertanyaan berikutnya adalah : bagaimana agar nilai-nilai diterima dan diresapi oleh generasi pengganti ini?
Soal pewarisan nilai akan menjadi bab serius karena kita akan menghubungkannya dengan struktur yang bisa ‘menghidupkan’ nilai-nilai. Itulah negara. Dan pada skala kecilnya itulah KELUARGA.
Selamat Hari Kartini
21 April 2017
Iis Istiqamah – YASMINA Foundation