Siapa sangka, sastra yang diajarkan kepada anak sejak kecil ternyata punya dampak besar terhadap perkembangan psikologi, khususnya kepribadian yang baik. Mengapa bisa demikian?
1. Pembelajaran sastra sudah seharusnya berangkat dari sebuah karya sastra secara konkret
Siswa harus dilibatkan secara langsung dengan kegiatan pembacaan karya sastra dan bukan melalui ringkasan atau resensi tentang karya sastra. Dengan membaca karya sastra secara langsung, siswa dapat memperoleh nilai-nilai (value) tentang kehidupan sekaligus dapat meningkatkan kemampuan berbahasa.
2. Siswa harus dibimbing untuk memasuki dunia sastra dengan nikmat dan gembira
Pendekatan dalam pembelajaran sastra bukanlah pendekatan keilmuan seperti memahami fisika dan juga bukan pendekatan hafalan seperti penghafalan tahun-tahun sejarah. Dalam pembelajaran sastra, guru haruslah mampu membentuk citra sastra di hati siswa sebagai sesuatu yang menyenangkan, membuat mereka antusias, dan mereka merasa memerlukan.
Dengan memasuki segala macam situasi dalam karya sastra, siswa akan dapat menempatkan diri pada kehidupan yang lebih luas daripada realitas sosial yang nyata.
Melalui karya sastra siswa dapat meresapi secara imajinatif kepentingan-kepentingan di luar dirinya. Siswa mampu melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang lain, berganti-ganti menurut wawasan pengarang dan apa yang dihadapinya.
3. Ada saat membicarakan karya sastra, aneka tafsir yang dikemukakan oleh siswa harus dihargai
Dalam hal ini tidak ada tafsir tunggal terhadap karya sastra. Guru harus terbuka terhadap pendapat siswa yang beragam, sepanjang pendapat itu dikemukakan dalam disiplin berpikir yang logis.
Situasi kelas dalam pembelajaran sastra ibarat kelas pendidikan demokrasi yang membuka kemungkinan pada siswa untuk berkenalan dengan perbedaan pendapat dan belajar menghargai pendapat yang lain.
4. Pengetahuan tentang sastra tidak menjadi faktor utama dalam pembelajaran sastra
Pengetahuan tentang teori, sejarah, dan definisi tentang sastra merupakan informasi sekunder yang diperlukan pada saat membicarakan karya sastra. Siswa tidak harus dibebani dengan hafalan teori dan definisi terus-menerus.
Bahkan, pengetahuan tentang tata bahasa tidak lagi diberikan secara teoretis, tetapi dicermati penggunaannya dalam karya tulis (karangan) siswa.
5. Kegiatan berekspresi sastra, khususnya dalam kegiatan produktif berupa menulis atau mengarang
Kegiatan tersebut harus diselenggarakan dengan menyenangkan dan tidak menjadi beban bagi siswa. Aktivitas menulis atau mengarang harus diupayakan menjadi salah satu media ekspresi diri yang melegakan perasaan siswa. Kegiatan mengarang tidak hanya berupa menulis laporan, tetapi mampu menggugah imajinasi dan menuntun ketajaman berpikir.
6. Pembelajaran sastra harus mampu menyemaikan nilai-nilai positif pada batin siswa
Hal itulah yang dapat menjadi bekal siswa dalam menghadapi kenyataan kehidupan yang penuh tantangan. Nilai-nilai seperti keimanan, kejujuran, ketertiban, pengorbanan, demokrasi, tanggung jawab, pengendalian diri, kebersamaan, penghargaan terhadap nyawa manusia, optimisme, kerja keras, keberanian mengubah nasib adalah nilai-nilai luhur yang menjadi muara pembelajaran sastra.
Pada akhirnya akan tumbuh kearifan manusia dan kehidupan,terasah sensivitas estetiknya, dan terpupuk empatinya pada duka derita nasib orang-orang yang terkena musibah.
Karya sastra yang relevan dengan nilai-nilai itulah yang dipilih untuk disajikan kepada siswa dan didiskusikan di kelas. Salah satu jenis karya sastra yang dapat memenuhi harapan di atas adalah sastra profetik.
*Referensi: Anwar Efendi, FBS Universitas Negeri Yogyakarta dalam artikel Pembelajaran Sastra Profetik sebagai Media Pengembangan Karakter Siswa